Monday 27 June 2016

Baik dan Buruk

Setumpuk kata terbelenggu dalam kepala; menunggu untuk dieksplorasi dan diuntai dengan sedemikian rupa. Suara nyaring pun tidak pula bergeming, serasa ingin meledak seperti bom waktu. Aku dan kehidupan. Dua entitas yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya, saling mencari satu sama lain.

Konsepsi akan kehidupan terus membayangi benakku yang tidak kunjung bosan untuk berimajinasi; yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan beribu pertanyaan: mengapa? bagaimana? untuk apa? dan lain-lainnya. Sejak kecil, orang tuaku selalu mengajarkanku untuk menjadi anak perempuan yang baik: belajar dengan baik, lulus dengan baik, mendapat pekerjaan yang baik, menikah dengan lelaki baik, dan membangun keluarga yang baik. Dulu, aku terdoktrinasi dengan embel-embel stigma "baik" yang cukup melekat dalam diriku setidaknya selama 18 tahun ini. Tidak pernah sekalipun kupertanyakan mengapa aku harus menambahkan kata "baik" di setiap hal yang kulakukan dan di setiap mimpi yang aku cita-citakan.

Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan "baik"?

Lingkungan sekitarku secara tidak langsung selalu mencuci otakku dengan sebuah pemikiran fana bahwa dengan belajar dengan baik, lulus dengan baik, mendapat pekerjaan yang baik, menikah dengan lelaki baik, dan membangun keluarga yang baik akan menuntunku pada kedamaian dan kesejahteraan hidup. Lalu, aku berpikir, "apa iya?" Kenapa sesuatu yang "baik" harus dikaitkan dengan prinsip hidup monoton yang tidak lebih dari sekedar rutinitas dan aturan kehidupan yang memiliki pola yang sama?

Bagaimana dengan kata "buruk"? Kapan kata ini harus digunakan?

Selama 18 tahun hidupku, aku selalu memerhatikan orang-orang disekitarku. Mulai dari cara berbicara, cara berjalan, hingga sudut pandang dan perspektif yang mereka lihat melalui persepsi yang masing-masing mereka ciptakan. Banyak orang yang masuk dan pergi atau sekedar lewat dalam hidupku. Cukup banyak hati dan pikiran orang yang kujelajahi melalui sesi bertukar pikiran, hingga semua ini pun merujuk kepada sebuah kesimpulan, bahwa orang yang "buruk" adalah orang yang tidak menuruti aturan dan prinsip hidup yang sebelumnya kusebutkan: belajar, lulus, mendapatkan pekerjaan, menikah, dan membangun keluarga. Bagi kebanyakan orang, hal ini wajar dan dapat diterima dengan logika. Namun berbeda denganku, bagiku hal ini sama sekali tidak masuk akal.

Begitu banyak orang yang dimarjinalkan hanya karena mereka memilih jalannya sendiri. Begitu banyak orang yang dipandang sebelah mata hanya karena mereka mengikuti kata hatinya sendiri. Banyak orang yang berkelana dan mengembara hingga ke belahan dunia hanya untuk mencari sebuah makna--demi menemukan jati dirinya, atau pun esensi dari kehidupan ini sendiri. Namun, banyak juga yang tidak mengambil resiko tersebut dan lebih memilih jalan yang aman: mengikuti aturan dan prinsip kehidupan untuk menjadi orang "baik".

Kebanyakan orang di Negara-ku beranggapan bahwa orang yang berkelana dan mengembara adalah tipe orang yang hanya mendambakan kesenangan dan hedonisme akan dunia yang fana--aku pun tidak tahu bagaimana mereka bisa menyimpulkan stigma seperti ini. Apa yang mereka tidak tahu adalah orang yang berkelana dan mengembara justru adalah orang yang melakukan perjalanan, baik perjalanan untuk melihat dunia, perjalanan untuk melintasi samudera, perjalanan untuk menemukan makna, atau pun perjalanan untuk mengintip ke sudut dunia. Mereka, adalah segelintir pemberani yang mengikuti kata hatinya, demi memuaskan rasa penasaran dan haus akan dunia di luar sana; bukannya segelintir manusia yang mengikuti aturan hidup demi memuaskan orang lain dan demi mendapatkan cap orang "baik" yang sukses dalam hidup. Itulah masalahnya, manusia selalu mengaitkan kesuksesan dengan nilai material; padahal yang lebih berharga adalah pengalaman, teman, kebahagiaan, dan penemuan jati diri.

Semua yang tidak mengikuti aturan kehidupan (yang entah diciptakan oleh siapa) dianggap menyimpang. Orang yang tidak sukses di kegiatan akademik dianggap malas, orang yang tidak lulus dengan nilai memuaskan dianggap bodoh, orang yang tidak mendapatkan pekerjaan dianggap dungu, dan orang yang tidak menikah dianggap absurd. Sederhananya, keempat jenis orang ini mendapatkan stigma "buruk" karena kemampuan setiap individu yang berbeda-beda yang jelas tidak dapat disalahkan. Begitu pula dengan pengembara dan pengelana yang memiliki tekad kuat untuk mengarungi benua; di tempat aku tinggal ini, orang-orang seperti itu sangat dipandang sebelah mata dan diremehkan hanya karena pilihan mereka yang berbeda dari kebanyakan orang lainnya.

Menurutku, hidup adalah pilihan. Menurutku, sebagai manusia yang memiliki otoritas dan legitimasi tinggi atas kontrol dirinya sendiri, kita semua berhak untuk menentukan apa yang kita inginkan dan apa yang kita akan lakukan. Baik menikah atau pun mengembara, semua pilihan itu harus didasarkan dari keinginan sendiri, bukan dari ketakutan akan rasa terpinggirkan dari orang-orang ataupun rasa kewajiban untuk menyenangkan orang lain, apalagi dengan mengorbankan keinginan kita sendiri. Satu-satunya orang yang harus disenangkan adalah diri kita sendiri. Baik dan buruk bersifat relatif, sampai kapanpun kedua hal ini ambigu dan tidak dapat terdefinisikan dengan sempurna. Kriteria "baik" dan "buruk" yang diciptakan oleh masyarakat hanyalah kebohongan belaka, yang selama ini selalu membutakan mata manusia. Baik dan buruk bukanlah standar manusia untuk menjalani hidup, melainkan hal yang menyadarkan manusia akan esensi dan tujuan hidup.

No comments

Post a Comment

© Ocean Avenue
Maira Gall